Senin, 19 November 2012

KRITIK TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI)


Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang berasal dari kemampuan cipta, rasa, karsa dan pemikiran manusia. Karya yang dihasilkan dari kemampuan intelektual tersebut memiliki berbagai nilai yang berguna bagi kehidupan manusia, termasuk diantaranya nilai ekonomi. Nilai-nilai itu perlu dilindungi agar kepemilikan dan pemanfaatannya berada di tangan individu atau pihak yang berhak memilikinya. Oleh sebab itu, suatu sistem perlindungan yang dikenal dengan HaKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) telah dikembangkan untuk mengakomodir tujuan di atas.
HaKI adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada para penemu/pencipta. HaKI yang terdiri dari hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, indikasi geografis, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan perlindungan varietas tanaman pada dasarnya merupakan instrumen-instrumen hukum yang mengikat dan melindungi hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan lain dari sistem perlindungan ini adalah untuk memberikan penghargaan kepada para inventor/pencipta, mempublikasikan berbagai temuan kepada masyarakat, merangsang terjadinya alih informasi dan alih teknologi serta merangsang terciptanya invensi-invensi baru (Setyowati dkk, 2005).
Dalam perjalanannya, saya melihat beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi dari HaKI. Kritik/keberatan terhadap HaKI meliputi:
  1. HaKI membuka peluang terjadinya monopoli atas produk/temuan yang dipatenkan. Hak ekslusif yang diberikan oleh negara/pemerintah sebenarnya merupakan hak monopoli untuk memperbanyak temuan/karya cipta dalam jangka waktu tertentu (Dirjen Industri Kecil Menengah, 2007). Hak ini menjadi barrier to entry yang memungkinkan produsen/pemegang paten/pemegang lisensi menjadi pelaku tunggal dalam suatu sektor industri yang mampu mengontrol kapasitas produksi dan harga pada kisaran yang diinginkannya. Selain terbatasnya ketersediaan produk, harga tinggi yang cenderung ditetapkan produsen menyebabkan produk tersebut tidak bisa dibeli oleh semua orang. Kondisi ini menjadi masalah besar ketika kebutuhan produk itu bersifat penting dan mendesak, seperti pada kasus pasien yang membutuhkan suatu jenis obat. Selain itu, monopoli juga menghilangkan persaingan antar produsen karena HaKI melarang produsen lain untuk membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan produk untuk dijual atau disewakan tanpa seizin pemegang HaKI. Contoh kasus terjadi pada produksi obat-obatan di India yang dikenal sebagai gudangnya farmasi untuk negara-negara berkembang. Sampai tahun 2005, India tidak menyetujui adanya paten untuk produk obat-obatan. Tanpa keharusan paten, banyak produsen/perusahaan dapat memproduksi obat-obatan generik dengan harga yang lebih murah. “Karena kompetisi dari berbagai produsen obat-obatan generik inilah maka harga obat menjadi murah, dan telah terbukti menurunkan harga obat-obatan HIV/AIDS dari  Rp. 95,830,000 per orang di tahun 2000 menjadi sekitar Rp. 574,980 saat ini. Selama vakumnya kebijakan paten di India telah turut merangsang pengembangan obat HIV/AIDS kombinasi 3 in 1 yang sering disebut pil dosis-tetap, serta juga pengembangan obat-obatan HIV/AIDS untuk anak-anak (Tribun. Com, 2012)”.
  2. Pengambilalihan karya cipta dan pengetahuan tradisional. Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, yang berada di luar sistem HaKI yang ada sekarang ini, terkadang diabaikan. HaKI justru membantu pengambilalihan karya atau pengetahuan tersebut oleh individu, instansi atau perusahaan. Mereka datang ke berbagai wilayah/negara, melakukan penelitian dan mematenkan hasil temuannya. Kasus yang pernah ada sangkut pautnya dengan Indonesia adalah pendaftaran tanaman obat dan rempah asli Indonesia seperti pulowaras, sintok dan kemukus oleh perusahaan kosmetika SHISEIDO yang berasal dari Jepang (Setyowati dkk, 2005).
  3. Tidak memenuhi asas keadilan dalam menikmati keuntungan HaKI. Pada kasus pengetahuan tradisional/karya cipta, royalti yang diperoleh/dinikmati oleh orang/perusahaan yang mematenkan/mendaftarkan suatu temuan, tidak bisa dinikmati oleh komunitas/entitas budaya yang sebenarnya merupakan pemilik dari pengetahuan tradisional atau karya cipta tersebut, bahkan bisa jadi menyebabkan pengangguran atau hilangnya mata pencaharian mereka. Sebagai contoh: gugatan pengusaha amerika terhadap seniman Bali yang memproduksi miniatur candi borobudur berbahan perak yang dibuat dengan teknik pahatan. Gugatan itu dilayangkan karena produk tersebut telah dibuat oleh suatu perusahaan suvenir di Amerika. Padahal kegiatan dan teknik pahat memahat itu merupakan kebudayaan lokal penduduk setempat (Adimihardja, 2001 dalam Setyowati, 2005).  
  4. Menimbulkan kenaikan biaya. Royalti yang harus diberikan pemegang lisensi kepada inventor menyebabkan harga produk/karya menjadi lebih tinggi. Hal ini terjadi karena produsen akan menambahkan biaya royalti ke dalam salah satu unsur pengeluaran dan pertimbangan dalam menetapkan harga. Konsumen di negara berkembang yang rata-rata memiliki pendapatan per kapita yang rendah akan terbebani dengan harga tersebut (Dirjen Industri Kecil Menengah, 2007). Contoh kasus yang sempat ramai di media adalah lisensi obat untuk AIDS di India dan Afrika Selatan. Penduduk Afrika Selatan dan India banyak terjangkit penyakit ini dan tidak dapat membeli obat karena harganya mahal. Pemerintah di Afrika Selatan dan India memaksakan compulsary licensing untuk membuat obat generik yang murah untuk mengatasi masalah ini. Perang antara perusahaan besar yang merasa memiliki HaKI dari obat ini dengan negara yang membutuhkannya menjadi sorotan (Rahardjo, 2004)”.
  5. Timbulnya konflik pada masyarakat yang mengakui kepemilikan komunal. Hak ekslusif dari HaKI berseberangan dengan nilai komunalitas yang dianut oleh masyarakat tradisional, termasuk beberapa suku di Indonesia (Jhamtani, 2009). Ketegangan dan perbedaan logika-nilai inilah yang menjadi titik awal terjadinya berbagai pelanggaran di bidang hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta. Selain itu, HaKI bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat. Terdapat beberapa perbedaan antara nilai yang diakui dalam hukum positif yang berasal dari negara barat dengan hukum adat yang berlaku di negara-negara berkembang. Salah satu di antaranya adalah perbedaan antara harta berwujud dan tidak berwujud. Hukum adat berdasar pada konstruksi keadilan yang konkrit, nyata dan dapat dilihat sehingga tidak mengakui penjualan barang yang tidak berwujud. Selain itu, prinsip hukum adat yang universal dan mungkin yang paling fundamental adalah bahwa hukum adat lebih mementingkan masyarakat dibanding individu. Sebagai contoh: siapa yang berhak mengajukan pendaftaran hak cipta atas tari tor-tor yang dianggap sebagai milik masyarakat batak? Suku batak yang mana yang berhak mendapatkan hak itu? (mengingat ada banyak marga dalam suku batak. Selain itu, tarian tor-tor merupakan warisan leluhur yang sudah turun-temurun di tarikan oleh hampir seluruh suku batak di sumatera utara). Masyarakat batak manakah yang berhak mengajukan klaim apabila terjadi penggunaan tarian tersebut sebagai iklan promosi pariwisat negara lain? Jika gugatan itu dimenangkan dan kompensasi materi diberikan atas gugatan tersebut, siapakah yang beerhak menerima kompensasi tersebut? apakah semua suku batak atau apakah pemerintah daerah yang mengatasnamakan suku batak?
  6. Membuka peluang terjadinya eksploitasi terhadap negara-negara berkembang. Negara maju memandang negara berkembang dengan kekayaan alam dan budaya serta populasinya yang tinggi sebagai tempat yang ideal untuk melakukan penelitian, menemukan invensi serta sebagai pasar yang potensial bagi produk-produknya. Perusahaan ataupun lembaga-lembaga penelitian negara maju cenderung melakukan praktek-praktek yang memanfaatkan sumber daya hayati, pengetahuan dan teknologi tradisional serta kebudayaan tradisional (Imaniati, 2008) untuk kepentingan ekonominya semata. HaKI digunakan sebagai sarana untuk menghambat laju perkembangan teknologi dan industri negara berkembang yang akhir-akhir ini mulai tumbuh. Langkah-langkah di atas merupakan upaya eksploitasi ekonomi maupun pembatasan pemerintah negara-negara berkembang atas seluruh potensi dan aset yang dimilikinya. Selain itu, dalam menerima impor barang dari negara berkembang, kepabenanan beberapa negara maju mensyaratkan pelampiran dokumen HaKI sebagai salah satu dokumen wajib atau tambahan yang harus ada. Syarat ini menyebabkan kesulitan bagi produk-produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memasuki pasar domestik negara maju. Kegagalan memahami peraturan di negara tujuan seringkali menyebabkan produsen/distributor dari negara berkembang harus menanggung resiko dituntut oleh pemegang HaKI suatu produk di luar negeri. Upaya alih informasi dan alih teknologi sebagai salah satu wujud kepedulian dan tanggung jawab moral negara maju seperti yang diungkapkan pada tujuan pengembangan HaKI rupanya akan semakin sulit untuk terlaksana. Perusahaan/pihak swasta yang mendanai berbagai kegiatan riset dan pengembangan semakin memegang erat pengetahuan dan teknologi yang merupakan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Tujuan utama riset dan pengembangan yang memakan biaya besar dan curahan waktu dan pemikiran yang lama bukanlah untuk memajukan pihak lain, melainkan untuk memperoleh keuntungan guna membiayai riset dan pengembangan selanjutnya. Negara maju akan tetap menikmati keuntungan dari HaKI dan negara berkembang akan tetap berperan sebagai konsumen. Seandainya negara berkembang tetap menginginkan alih teknologi untuk mempercepat kegiatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, maka biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut biasanya akan sangat besar.
  7. Mempertahankan kesenjangan mutu hidup antara masyarakat di negara maju dan negara berkembang. Sebagai contoh pada bidang farmasi dan pelayanan kesehatan. Tidak hanya orang kaya di negara-negara maju yang perlu sehat dan hidup berkualitas tetapi juga rakyat miskin di negara-negara terbelakang memerlukan hasil teknologi farmasi dan medis  dengan harga  yang sesuai dengan tingkat pendapatan mereka dan ketersediaannya di waktu yang tepat. Skala prioritas yang ditetapkan oleh industri pemilik HaKI yang sebagian besar berada di negara maju untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya membuat konsumen di negara berkembang harus dengan sabar menunggu untuk mendapatkan produk tersebut. Royalti yang harus dibayarkan  kepada pemegang HAKI juga seringkali justru menjadi beban tambahan yang tidak proporsional dilihat dari tingkat pendapatan rakyat miskin di Negara-negara. Akibatnya, seringkali rakyat di negara berkembang tidak bisa menikmati layanan kesehatan seperti yang diterima oleh masyarakat di negara maju.

 
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat jenderal industri kecil menengah.  2007. Hak atas kekayaan intelektual. Jakarta: Departemen Perindustrian. Diunduh dari  www.kemenperin.go.id/.../Kebijakan-Pemerintah-dalam-Perlindunga...   tanggal 17 November 2012.

Jhamtani, H. 2009. Memahami rejim Hak Kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (TRIPS). Diunduh dari http://dgi-indonesia.com/wp-content/uploads/2008/10/memahami-rejim-hak-kekayaan-intelektual-terkait-perdagangan1.pdf  tanggal 17 november 2012.

Rahardjo, B. 2004. Apakah Negara Berkembang Memerlukan Sistem Perlindungan HaKI. Diunduh dari globalnetlink.com/articles/perlukah-haki-extended.doc  tanggal 15 November 2012.

Setyowati, K., dkk. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi. Bogor: Kantor HKI IPB. Diunduh dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7123/Hak%20Kekayaan%20Intelektual.pdf?sequence=1   tanggal 15 November 2012.

Tribun News. Com. 2012. Loui Thenu: Hak Paten Obat-obatan Berarti Monopoli. Tersedia online di http://www.tribunnews.com/2012/09/13/loui-thenu-hak-paten-obat-obatan-berarti-monopoli. Diakses pada 15 November 2012.