Kamis, 06 Desember 2012

PENENTUAN HAK SEBAGAI PENULIS PERTAMA ATAS SEBUAH KARYA TULIS (Kasus Pada Mahasiswa Yang Dibimbing atau Dibimbing-Dibiayai)


I.         PENDAHULUAN    
1.         Pendidikan
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi individu sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Pendidikan merupakan langkah dari suatu bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu bentuk bantuan yang dapat menyelamatkan manusia dan peradaban. Bantuan tersebut tidak boleh berlebihan, sebab jika berlebihan peserta didik akan menjadi orang yang terus bergantung, tidak pernah dapat mandiri, tidak dapat dewasa dalam berfikir, tidak mampu hidup secara sosial, serta tidak menyatakan emosi dan moral (Suyitno, 2009). Hal ini tentunya kontradiktif dengan tujuan awal dari pendidikan.
Salah satu tujuan pendidikan adalah meningkatan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi, memahami dan menyelesaikan berbagai masalah dan fenomena yang senantiasa berubah setiap waktu. Perkembangan pendidikan berjalan beriringan dengan kemajuan peradaban manusia, sehingga prosesnya dapat kita temui pada setiap tingkat perkembangan peradaban tersebut (Hasan dkk., 2010).
Di Indonesia, UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengusahaan dan penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional. Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan didefinisikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, serta bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak, berilmu, cakap dan mandiri.
Pendidikan diselenggarakan dalam suatu jalur dan jenjang pendidikan tertentu. Undang-undang yang sama, yaitu UU no 20 tahun 2003,  mendefinisikan jalur pendidikan sebagai “wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan” sedangkan jenjang pendidikan adalah “tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan”. Salah satu jenjang dalam pendidikan itu adalah pendidikan tinggi.

2.         Pendidikan Tinggi
Menurut undang-undang nomor 12 tahun 2012, pendidikan tinggi adalah “jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia”. Salah satu fungsi dan tujuan dari pendidikan tinggi adalah mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, mandiri, berdaya saing dan kooperatif. Oleh karena itu, setiap langkah yang ditempuh dalam pelaksanaan berbagai kegiatan, utamanya pembelajaran, harus dirancang sedemikian rupa agar fungsi dan tujuan itu bisa tercapai, sedangkan kegiatan yang sifatnya menghambat fungsi dan tujuan tersebut, seperti plagiasi, sangat dilarang keras.
Komponen-komponen utama yang terlibat dalam pendidikan tinggi adalah perguruan tinggi sebagai satuan/institusi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, dosen yang berperan sebagai tenaga pendidik, dan mahasiswa sebagai peserta didik. Dalam undang-undang no 14 tahun 2005, dosen didefinisikan sebagai “pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentrasformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat”.
Prinsip dan paradigma modern dalam pelaksanaan pendidikan tinggi menempatkan peserta didik, dalam hal ini mahasiswa, sebagai pusat kegiatan pembelajaran. Mahasiswa diposisikan sebagai individu dewasa yang memiliki kesadaran diri untuk secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, melaksanakan penelitian, mencari kebenaran ilmiah atau mengamalkan dan mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai bakat, minat dan kemampuannya (UU No 12 Tahun 2012). Dosen tidak lagi ditempatkan sebagai pusat pembelajaran dan sumber informasi yang dianggap sebagai sosok yang serba tahu, melainkan lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator.
Peserta didik yang telah menyelesaikan kewajiban studinya di sebuah perguruan tinggi berhak menyandang gelar akademik/profesi/vokasi sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penyelesaian studi itu adalah melakukan tugas akhir. Tugas akhir (TA) adalah karya tulis yang mencerminkan kreatifitas, kemampuan berpikir ilmiah dan integratif mahasiswa dalam memandang dan menyelesaikan suatu permasalahan. Penyusunan karya tulis yang didasari dari hasil penelitian, studi kepustakaan dan praktek kerja ini juga mampu melatih kemampuan mahasiswa dalam mengkomunikasikan hasil pekerjaannya pada masyarakat (Wiyatmo dkk, 2010).
Dalam penyelesaian TA nya, mahasiswa berhak mendapatkan dosen pembimbing yang memiliki kompetensi sesuai dengan topik/kajian tugas akhirnya. Dosen yang bersangkutan ditetapkan oleh pimpinan fakultas/dekan melalui surat penugasan pembimbingan. Adapun tugas dan kewajiban dosen pembimbing adalah membantu mahasiswa mencari permasalahan yang akan menjadi dasar penyusunan tugas akhirnya; serta membimbing penulisan dan penyusunan tugas akhir tersebut (Rudhanton, 2011).
Menurut kamus bahasa Indonesia (1997), membimbing diartikan dengan “menuntun dalam melangkah; menuntun dalam melaksanakan pekerjaan”. Jadi, membimbing bukan berarti “menyuapi” mahasiswa dengan suatu pengetahuan atau informasi, melainkan memberi petunjuk, mengarahkan dan mensupervisi. Membimbing merupakan membina secara tidak langsung dengan tujuan orang yang diberikan arahan mampu menemukan sendiri jawabannya. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali kita temui dosen pembimbing yang malah memberikan topik penelitian/tugas akhir pada mahasiswa yang dibimbingnya. Perilaku demikian sama sekali tidak mendidik mahasiswa untuk kritis, kteatif dan berpikir ilmiah. Mahasiswa pada ujungnya hanya berperan sebagai teknisi atau pelaksana dari suatu kegiatan penelitian. Tentunya, hal ini sangat bertentangan dengan hakikat pendidikan dan pembimbingan itu sendiri.
Tugas akhir dan karya tulis sangat berkaitan erat dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) karena merupakan hasil dari pemikiran/kecerdasan manusia. Oleh karenanya, tinjauan terhadap HaKI diperlukan untuk menentukan status kepemilikan atas karya tersebut.

 3.        Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang dihasilkan dari kepintaran/kecerdasan manusia. Karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia bisa berupa karya dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya-karya tersebut memiliki manfaat ekonomi sehingga dapat dikategorikan sebagai aset komersial. Oleh karenanya, karya-karya tersebut perlu dijaga dan dilindungi. HaKI merupakan hak ekslusif yang diberikan negara kepada para penemu/inventor sebagai wujud perlindungan dan penghargaan terhadap hasil karyanya. Hak atas kekayaan intelektual ini meliputi hak cipta, paten, merek, disain sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman dan disain industri (Setyowati dkk., 2005).
Kekayaan intelektual berbeda dengan kekayaan lainnya yang dimiliki manusia, seperti bongkahan berlian dan batangan emas karena benda atau kekayaan tersebut bukanlah ciptaan atau hasil kepintaran manusia. Dalam konteks ini, karya tulis termasuk ke dalam lingkup hak cipta. Hal ini sejalan dengan keterangan dalam pasal 12 ayat 1 butir 1 undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta yang menyatakan bahwa “ciptaan yang dapat dilindungi yaitu buku, program komputer, pamflet, lay out karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain”.
 Layaknya ciptaan lainnya, sebuah karya tulis pun memiliki pencipta. Istilah yang biasa digunakan untuk menunjukkan orang yang berperan sebagai pencipta karya tulis adalah penulis. Pekerjaan menghasilkan karya tulis bisa dilakukan sendiri maupun secara berkelompok. Jika dilakukan secara berkelompok, maka diantara penulis itu akan ada yang berperan sebagai penulis utama dan yang lainnya berperan sebagai penulis pendamping. Penulis utama adalah penulis yang dominan mengungkapkan ide, pemikiran dan gagasannya dalam tulisan tersebut, sedangkan penulis pendamping biasanya lebih berperan sebagai pemberi masukan untuk hal-hal yang perlu ditambahkan, reviewer dan supervisor terhadap karya tulis tersebut.

4.         Manajemen HaKI di Perguruan Tinggi
Tridharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat sangat kental dengan muatan HaKI. Perguruan tinggi memiliki potensi besar dalam menghasilkan karya intelektual karena memiliki banyak sumber daya manusia penghasil karya intelektual, yaitu dosen dan mahasiswa. Selain itu, berbagai fasilitas yang dimiliki perguruan tinggi, seperti laboratorium dan fasilitas percobaan lainnya, turut mendukung dan mempermudah lahirnya berbagai karya intelektual tersebut.
Pengelolaan HaKI di perguruan tinggi dilakukan oleh suatu lembaga yang disebut Sentra HKI. Pendirian sentra HaKI didasari oleh UU no 18 tahun 2002 tentang Sisnas P3IPTEK. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa “sentra HaKI adalah unit kerja yang berfungsi mendayagunakan kemampuan intelektual, sekaligus sebagai pusat informasi dan pelayanan HaKI”.
Dalam pengelolaan HaKI di perguruan tinggi terdapat beberapa kendala yang harus diatasi. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (Setyowati dkk., 2005):
1.   Kepemilikan dan implikasinya. Aspek kepemilikan hasil penelitian dan pengembangan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu 1) kegiatan yang didanai pemerintah daerah (sebagian/seluruhnya) dan 2) yang didanai pihak diluar pemerintah/pemerintah daerah. Untuk penelitian pada kondisi 1, berdasarkan PP no 20 tahun 2005, hasil litbang tersebut dimiliki pemerintah atau pemerintah daerah. Apabila melibatkan pihak lain, maka akan terjadi kepemilikan bersama. Ketentuan dan pengaturan pemanfaatannya ditentukan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah atau berdasarkan kesepakatan bersama, apabila melibatkan pihak luar. Namun demikian, pengelolaan kekayaan intelektual dan hasil penelitian/pengembangannya dilimpahkan pada perguruan tinggi. Untuk kondisi ke 2, dimana kegiatan penelitian didanai oleh pihak swasta/menggunakan dana yang dimiliki perguruan tinggi, maka kepemilikan kekayaan intelektual biasanya ditentukan oleh kesepakatan bersama.  Menurut lambert model agreement, terdapat beberapa pilihan apabila perguruan tinggi melakukan kerjasama penelitian dan pengembangan dengan suatu perusahaan. Model tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Model Perjanjian dalam Penentuan Kepemilikan Hasil Kerjasama Penelitian (tanpa dana dari pemerintah)
No
Perjanjian Pokok
Kepemilikan
1
Sponsor/perusahaan memiliki hak non ekslusif untuk menggunakan dalam bidang/wilayah tertentu
Perguruan tinggi
2
Sponsor/perusahaan dapat melakukan negosiasi lebih lanjut dari sebagian atau seluruh HaKI perguruan tinggi
Perguruan tinggi
3
Sponsor/perusahaan dapat melakukan negosiasi untuk beberapa assignment lebih lanjut dari perguruan tinggi
Perguruan tinggi
4
Perguruan tinggi memiliki hak untuk menggunakan guna tujuan non komersial
Sponsor/perusahaan
5
Perguruan tinggi tidak bisa melakukan publikasi tanpa seizin sponsor/perusahaan
Sponsor/perusahaan
Sumber: Setyowati dkk., 2005

2.   Penggunaan Pendapatan Hasil Pemanfaatan HaKI
Penggunaan pendapatan hasil pemanfaatan HaKI yang sebagian atau seluruhnya dibiayai oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat langsung dipergunakan oleh perguruan tinggi dengan ketentuan penyiapan rencana penggunaannya harus sudah ada 3 bulan sebelum tahun anggaran dimulai.
3.   Kerjasama dengan Lembaga/Perguruan tinggi Luar Negeri
Yang harus diperhatikan dalam sebuah kerja sama adalah keseimbangan masing-masing pihak dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan. Masing-masing pihak harus memiliki keunggulan/kompetensi tertentu sehingga jelas kedudukannya. Pada tahapan perencanaan, semua ketentuan harus dibuat jelas agar masalah-masalah yang berpotensi muncul, seperti mengenai status kepemilikan karya tersebut bisa diminimalisir.

Di ITB sendiri, pengelolaan HaKi dilakukan oleh kantor manajemen HaKI iTB yang berdiri sejak tahun 1999. Pengelolaannya berdasarkan pada SK rektor ITB no. 439/SK/K01/HK/1999 yang selanjutnya diperbaiki dengan SK perubahan tentang SK no. 439 tahun 1999 tersebut. Ketentuan HaKI ITB menyatakan bahwa kegiatan penelitian yang dibiayai ITB, HaKI nya akan secara otomatis dimiliki oleh ITB, sedangkan kegiatan penelitian yang tidak dibiayai ITB tetapi melalui lembaga/organisasi ITB, maka HaKI atas penelitian itu akan dipegang oleh ITB kecuali jika ada perjanjian tersendiri dengan sponsor penelitian.

II.   PEMBAHASAN KASUS: Penetapan Penulis Utama dalam Publikasi Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa S1 atau S2
1.         Batasan Program Sarjana dan Magister
Menurut UU no 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, yang dimaksud dengan program sarjana adalah “pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah”. Sedangkan yang dimaksud dengan program magister adalah “pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah”.
Merujuk pada definisi di atas, dapat dikatakan bahwa mahasiswa program sarjana yang belum memiliki pengalaman ilmiah dalam meneliti, perlu lebih banyak mendapatkan bimbingan dalam penyusunan tugas akhir dan penyelesaian studinya, sedangkan mahasiswa program magister yang sudah memiliki pengalaman meneliti dan dasar keilmuan yang didapatkan ketika menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana, tidak perlu terlalu banyak diarahkan dalam menemukan topik penelitian dan penyelesaian studinya.

2.         Kasus 1: Mahasiswa Dibimbing dan Dibiayai
Jika pembimbingan dilaksanakan sesuai dengan esensi dari membimbing, yaitu membina secara tidak langsung dengan tujuan agar mahasiwa yang diarahkan mampu mencari permasalahan yang menjadi dasar penelitian serta mampu menemukan sendiri jawaban atas permasalahan-permasalahnnya; memberi petunjuk dalam penulisan dan penyusunan serta mensupervisi tugas akhir/karya tulis mahasiswa, maka yang berhak menjadi penulis pertama atas artikel/karya tulis yang dipublikasikan adalah mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan mahasiswa tersebutlah yang memiliki gagasan utama/memberikan kontribusi terbesar berupa ide dan pemikiran lainnya terhadap artikel atau karya tulis tersebut.
Pembiayaan yang diberikan oleh dosen pembimbing atau sponsor tidak bisa serta merta menjadikan pembimbing/sponsor itu ditempatkan sebagai penulis utama karena hakikat dari pendanaan bukanlah mengkontribusikan ide atau pemikiran sebanyak-banyaknya sebagai prasayarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa dianggap sebagai penulis utama, melainkan hanya sebagai penunjang agar berbagai keperluan untuk melakukan penelitian, penulisan dan publikasi karya tulis dapat dipenuhi. Jadi meskipun dibiayai, yang berhak menjadi penulis utama adalah individu yang berkontribusi terbanyak terhadap karya tulis tersebut, yang dalam hal ini adalah mahasiswa.
Kondisi di atas bisa berubah jika terdapat perjanjian atau kesepakatan-kesepakatan antar mereka. Sebagai contoh: jika mahasiswa memiliki kontribusi ide dan pemikiran terbesar, namun yang bersangkutan tidak memiliki dana yang cukup untuk menjalankan penelitian, penulisan dan publikasi karyanya, kemudian pembimbing menawarkan bantuan dana dengan persyaratan yang berhak menjadi penulis utama dalam artikel itu adalah dirinya dan itu disepakati oleh kedua belah pihak, maka pembimbinglah yang menjadi penulis utama/pertama dari artikel tersebut. Opsi lain mengenai kepemilikan atas karya tersebut dapat berupa pola-pola seperti yang ditunjukkan dalam tabel 1.

3.         Kasus 2: Mahasiswa Hanya Dibimbing
Seperti pada pemaparan kasus 1, jika semua hal berjalan sebagaimana mestinya, sesuai prosedur pembimbingan yang ditetapkan institusi, maka mahasiswalah yang berhak menjadi penulis utama atas karya tersebut kecuali jika dalam pelaksanaan tugas akhir dan pembimbingannya, mahasiswa itu “disuapi” pembimbing. Dalam artian, ide dalam menentukan topik penelitian, prosedur kerja sampai penulisan karya tulis, semua diberikan/ditentukan oleh pembimbing. Kreatifitas, pemikiran kritis dan budaya ilmiah sama sekali tidak ditunjukkan oleh mahasiswa. Ia hanya berperan sebagai teknisi/pelaksana dari semua kegiatan tersebut atau bisa dikatakan kontribusi ide/pemikirannya terhadap karya itu sangat minim, sehingga berdasarkan pada konsep kekayaan intelektual yang menyebutkan kekayaan intelektual sebagai hasil pemikiran/kepintaran manusia, maka yang berhak menjadi penulis utama dan pemegang HaKI atas karya cipta itu adalah dosen pembimbing sebagai pemilik gagasan utamanya. Hal ini juga sejalan dengan isi pasal 7 UU no 19 tahun 2002 tentang hak cipta yang menyatakan “Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu”.

III.    KESIMPULAN
Mahasiswa yang memiliki dan menjalankan gagasan utama dalam penyelesaian tugas akhirnya, berhak atas kedudukan sebagai penulis pertama dalam artikel/karya tulis yang nantinya dipublikasikan.


Daftar Pustaka
Ali, B. M. dan Deli. T. 1997. Kamus Bahasa Indonesia. Bandung: Citra Umbara.

Hasan, S.H. dkk., 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Balilbang Kurikulum Kementerian Pendidikan. Diunduh dari http://sertifikasiguru.unm.ac.id/PENDIDIKAN%20KARAKTER%20PLPG%20Rayon%201%2024/1.%20Pendidikan%20Budaya%20dan%20Karakter%20Bangsa.pdf   tanggal 30 November 2012.

Rudhanton. 2011. Manual Prosedur Pembuatan Skripsi/Tugas Akhir. Malang: FKG Universitas Brawijaya. Diunduh dari http://fk.ub.ac.id/id/filedownload/spma/ujmpskg/siklus8/MP.TUGAS.AKHIR.pdf   tanggal 20 November 2012.

Setyowati, K., dkk. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Tantangan Implementasinya di Perguruan Tinggi. Bogor: Kantor HKI IPB. Diunduh dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7123/Hak%20Kekayaan%20Intelektual.pdf?sequence=1   tanggal 15 November 2012.

Suyitno, Y. 2009. Landasan Filosopis Pendidikan. Bandung: Unipersitas Pendidikan Indonesia. Diunduh dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEDAGOGIK/195009081981011-Y._SUYITNO/LANDASAN_FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdf  tanggal 20 November 2012.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Diunduh dari www.depdagri.go.id/media/documents/2012/.../uu_no.12-2012.pdf   tanggal 25 November 2012.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.  Diunduh dari http://www.apjii.or.id/DOC/Regulasi8/UU_HC_19.pdf  tanggal 20 November 2012.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Diunduh dari http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU14-2005-GuruDanDosen.pdf  tanggal 25 November 2012.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diunduh dari http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU20-2003-Sisdiknas.pdf   tanggal 29 November 2012.

Wiyatmo, y. dkk., 2010. Efektivitas Bimbingan Tugas Akhir Skripsi (TAS) Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Diunduh dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656347/Efektivitas%20Bimb.%20TAS.pdf  tanggal 27 November 2012.

Senin, 03 Desember 2012

Embryo Yatim Piatu

EMBRIO
Definisi Embrio
Embrio adalah eukariota multiseluler yang berada pada tahap awal perkembangan. Pada manusia, masa perkembangan embrio dimulai setelah zigot hasil fertilisasi terbentuk. Tahapan perkembangan ini berlangsung sampai dengan akhir minggu ke delapan dari periode kehamilan (Campbell, 2006; Sadler, 2000). 

Pembentukan dan Perkembangan Embrio (Embriogenesis)
Pembentukan embrio diawali dengan proses peleburan sel telur dan sel sperma yang menghasilkan zigot. Sekitar 24 jam setelah fertilisasi, sel telur yang telah dibuahi memulai pembelahan pertamanya. Hasil pembelahan ini adalah zigot yang memiliki 2 sel. Pada tahap ini, zigot mengalami serangkaian pembelahan mitosis yang menyebabkan bertambahnya jumlah sel dengan cepat. Sel anak hasil pembelahan itu disebut blastomer yang bentuknya menyerupai gumpalan padat.
Tiga hari pasca pembuahan, sel-sel embrio yang termampatkan tersebut membelah lagi membentuk morula yang merupakan kumpulan dari 16-30 blastomer. Meskipun jumlahnya bertambah banyak, namun pertumbuhan sel embrio tersebut tidak begitu nyata terlihat karena pembelahannya berlangsung pada zona pelusida yang tidak bisa membesar. Pada hari ke empat sampai hari ke lima, blastomer terus membelah diri, mengalami pelekukan tidak beraturan dan akhirnya terbentuk rongga berisi cairan yang disebut blastula.
Pada hari ke empat, blastula sudah mencapai rongga rahim, tapi masih bebas dan belum menempel pada endometrium (dinding rongga rahim). Pada akhir hari ke lima, embrio melepaskan diri dari zona pelusida yang membungkusnya. Proses pelepasan ini dibantu oleh enzim yang dapat melarutkan pelusida pada kutub embrionik. Setelah itu, embrio mulai menempel pada endometrium. Peristiwa menempel dan tertanamnya embrio pada dinding rongga rahim ini disebut implantasi (nidasi). Implantasi terjadi sekitar hari ke tujuh sampai ke delapan setelah pembuahan. Proses awal perkembangan embrio manusia selengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah.  



http://25.media.tumblr.com/tumblr_mchmsphihn1qaityko1_1280.png
 
Gambar 1. Initial Stage of Human Embryogenesis
Sumber: Fetal Development, ask.com encyclopedia, 2012)

Blastula terdiri dari trofoblas (sel bagian luar) yang kemudian membentuk plasenta dan inner cell mass yang selanjutnya akan menjadi embrio. Pada hari ke 11 dan 12, blastula telah tertanam/menempel sepenuhnya pada endomitrium.
Blastula terus mengalami perkembangan dan lapisan sel yang terdiri dari ektoderm, mesoderm dan endoderm mulai terbentuk. Pada titik ini, embrio sudah berada pada fase gastrulasi. Fase ini berlangsung pada minggu ke tiga sampai minggu ke delapan. Setiap lapisan sel akan berkembang menjadi jaringan dan organ yang berbeda. Ektoderm akan membentuk susunan saraf pusat; saraf tepi; epitel sensorik mata, telinga dan hidung; kulit, rambut dan kuku; kelenjar keringat dan email gigi. Mesoderm membentuk jaringan tulang rawan dan sejati; pembuluh jantung, nadi, pembuluh getah bening dan sel darah; ginjal, gonad dan limfa. Sementara itu, endoderm akan menghasilkan lapisan epitel saluran pernafasan, pencernaan; parenkim tiroid, paratiroid, hati dan kelenjar pankreas (Sadler, 2000). Perkembangan organ selengkapnya dari embrio dapat dilihat pada gambar di bawah.


A chart of Alcohol Exposure and Phases of Embryo/Fetal Development
 

Gambar 2. Development of the Embryo
Sumber: Coles, 1994 dalam Global Development of Alcohol Policies, 2007)

Status Moral Embrio
Status moral embrio yang akan dibahas disini adalah status moral embrio manusia hasil kultur invitro (IVF) yang berada pada fase blastula (berumur sekitar 5-7 hari setelah pembuahan) yang akan digunakan sebagai bahan untuk penelitian Embryonic Stem Cell (ESC). Status embrio ini menjadi polemik karena ada kelompok yang beranggapan bahwa penggunaan embrio untuk ESC termasuk dalam kategori pembunuhan. Argumen ini dilandasi pemikiran bahwa kehidupan manusia telah dimulai semenjak terjadinya konsepsi. Sementara itu, ada pula kelompok yang beranggapan bahwa embrio itu bukan manusia, tetapi hanya sel hidup saja, sehingga pemanfaatannya, walaupun bersifat merusak embrio yang bersangkutan, tidak bisa dikategorikan sebagai pembunuhan.

Awal kehidupan dan “Kemanusiaan” Embrio
Terdapat banyak pemahaman mengenai hidup dan awal mula kehidupan. Secara filosofis, hidup diartikan sebagai kemampuan subjek hidup untuk melakukan aktivitas dan menyempurnakan diri sendiri secara terus-menerus. Aktivitas atau tindakan yang dilakukan tersebut, selalu memiliki sebab dan tujuannya (Sgrecccia, 1991 dalam Chang, 2009). Secara biologis, suatu subjek dikatakan sebagai subjek hidup/mahluk hidup jika mampu memenuhi kriteria seperti bernafas, bergerak, membutuhkan sumber energi, bereproduksi dan iritabilitas. Jika merujuk pada definisi di atas, maka sel embrio sudah bisa dikatakan sebagai sel hidup, sama seperti rambut, kuku, kulit dan sel tubuh manusia lainnya. Namun, untuk menentukan status moralnya, kajian mengenai hidup harus dilihat dari sisi etika. Dalam konsep etika, hidup dimulai ketika suatu subjek sudah memiliki keinginan dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri (Rachels, 2004).
Untuk menentukan “keotonomian” dari blastula, kita harus melihat berbagai fakta yang ada mengenai embrio. Agar dapat berkehendak dan berfikir, maka embrio tersebut harus sudah memiliki otak yang berfungsi sebagai pusat kontrol atas seluruh sistem dalam tubuh manusia. Dari tahapan perkembangan organ dalam tubuh manusia yang ada pada gambar 2, kita dapat mengetahui bahwa sistem saraf pusat mulai dibentuk pada minggu ketiga kehamilan dan otak mulai terbentuk pada minggu ke dua belas. Itu artinya, blastula belum memiliki status moral layaknya yang dimiliki manusia dewasa. Status moral tersebut baru bisa diberikan kepada janin yang telah berusia di atas 16 minggu.
Fakta lain menunjukkan bahwa selama 14 hingga 20 hari setelah fertilisasi, suatu embrio akan tersegmentasi dan memiliki peluang untuk membentuk individu kembar. Dalam hal ini, fase awal dari embrio bukanlah manusia dan tidak juga memiliki aspek “kemanusiaan”. Tidak ada individualitas sehingga ke-manusia-an dari blastula tidak dapat diperhitungkan. Apabila setiap manusia adalah individu tunggal, maka ia tidak dapat membelah dari dirinya sendiri (Bonnie, 1994).
Kajian mengenai awal mula kehidupan dan “kemanusiaan” juga harus dilihat dari sisi agama. Seperti kita ketahui bersama, agama merupakan salah satu sumber moral yang paling utama. Dalam pandangan agama-agama yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Hindu dan Budha), hidup manusia tidak hanya meliputi dimensi fisik saja, tetapi juga memiliki sisi imateri atau dimensi rohani. Tidak ada pertentangan diantara agama-agama tersebut mengenai pandangan “kemanusiaan”. Perbedaaan pandangan terdapat pada penentuan awal mula kehidupan. Dalam pandangan Islam sebagai agama yang saya anut, kehidupan dimulai ketika ruh telah ditiupkan ke dalam janin pada saat berumur 120 hari. Proses penciptaan manusia dijelaskan dalam beberapa ayat Al quran berikut ini:

QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik.”

QS. Al Hijr (15) : 28-29
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”

Penjelasan lebih lanjut mengenai waktu ditiupkannya ruh ke dalam janin terdapat dalam hadits Rasulullah SAW berikut:

Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan buruk baik (nasibnya).” (HR. Bukhari-Muslim)
    
Dalam pandangan moral islam, janin di bawah usia 120 hari belum dapat dikatakan hidup (karena belum memiliki ruh) dan belum dikatakan manusia (karena tidak memiliki dimensi rohani yang melengkapi dimensi fisik janin).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa blastula adalah sel hidup, bukan manusia/individu yang memiliki otonomi, sehingga belum memiliki status moral seperti layaknya manusia dewasa.

Status Waris dalam Hukum Positif Indonesia dan Agama Islam dari Embrio Yatim Piatu
Merujuk pada kesimpulan status moral embrio sebagai “sel hidup, bukan manusia/individu yang memiliki otonomi, sehingga belum memiliki status moral seperti layaknya manusia dewasa”, maka kepadanya tidak dikenakan hukum perwalian, melainkan hukum waris. Yang termasuk dalam kategori hukum perwalian adalah anak atau mereka yang belum dewasa (KUH Perdata Pasal 330). 
Menurut Knol (dalam Sudarsono, 1991), hukum waris adalah hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih. Dalam KUH Perdata, syarat-syarat terjadinya pewarisan meliputi:
  1. Syarat yang berhubungan dengan pewaris. Terjadinya pewarisan hanya bisa berlangsung ketika si pewaris telah meninggal dunia (sesuai ketentuan pasal 830 KUH Perdata).
  2. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris. Yang berhak menjadi ahli waris atas harta peninggalan pewaris adalah orang-orang yang sudah ada atau masih hidup ketika si pewaris meninggal dunia. Hidup ahli waris dimungkinkan dengan hidup secara nyata (yang bersangkutan memang hidup dan dapat dibuktikan dengan panca indra) dan hidup secara hukum (tidak diketahui secara kenyataan masih hidup, contohnya adalah janin yang ada dalam kandungan ibu).
Berdasarkan undang-undang, tidak semua ahli waris berhak mendapatkan warisan. Ahli waris yang tidak berhak/tidak patut mendapatkan warisan adalah:
  1. Orang yang dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
  2. Mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih berat.
  3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
  4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris (Pasal 838 KUH Perdata).
Adapun cara untuk mendapatkan warisan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Secara ab intestato. Dalam pasal 832 KUH Perdata disebutkan bahwa yang berhak menerima bagian warisan adalah keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama.
  2. Secara testamentair. Dalam Pasal 899 KUH Perdata disebutkan bahwa yang berhak menerima waris adalah mereka yang disebut dalam wasiat yang dibuat oleh si pewaris.
 Dalam hukum waris, terdapat asas penderajatan yang berarti ahli waris yang derajatnya dekat dengan dengan pewaris akan menutup ahli waris yang derajatnya lebih jauh dari ahli waris tersebut. Selain itu, ahli waris dengan sendirinya, karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia (Asas saisine).
Selain hukum waris dalam KUH Perdata, hukum waris juga bisa ditemui dalam ajaran agama islam. Definisi hukum waris dalam islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (pasal 171 a, inpres no 1 tahun 1991). Dasar hukum pewarisan dalam islam adalah QS. An-Nisa ayat 7:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Perolehan perseorangan ahli waris disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 11:

”Allah mewasiatkan kepadamu tentang (bagian) anak-anakmu, untuk seorang laki-laki seumpama bagian dua orang perempuan. Kalau anak-anak itu perempuan saja lebih dari dua orang, untuk mereka dua pertiga dari peninggalan, dan kalau perempuan itu seorang saja, maka untuknya seperdua. Untuk dua orang ibu bapak, untuk masing-masingnya seperenam dari peninggalan, jika ia (mayat) mempunyai anak. Kalau mayat tiada mempunyai anak dan yang mempusakai hanya ibu bapak saja, maka untuk ibunya sepertiga, tetapi jika mayat mempunyai beberapa orang saudara, maka untuk ibunya seperenam, sesudah dikeluarkan wasiat yang diwasiatkannya atau hutang-hutangnya. Bapak-bapakmu dan anak-anakmu tiadalah kamu ketahui, siapakah di antara mereka yang terlebih dekat manfa’atnya kepadamu. Inilah suatu ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

KASUS EMBRIO YATIM PIATU KELUARGA ASEP JATNIKA & SHINTA BELLA
Asep Jatnika dan Shinta Bella adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama 8 tahun dan belum dikaruniai anak. Pada tahun 2011, pasangan suami istri ini mendatangi Klinik Bunda Ceria dan meminta jasa klinik tersebut untuk bisa mendapatkan anak melalui teknik in vitro fertilization (IVF). Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya diperoleh delapan embryo yang siap diimplantasikan. empat dari delapan embryo yang diperoleh kemudian diimplantasikan kedalam kandungan Ny. Shinta Bella, sementara empat embryo lainnya, atas permintaan suami istri tersebut, disimpan dalam keadaan beku untuk digunakan dikemudian hari.
Delapan bulan kemudian, Ny. Shinta Bella melahirkan dua orang bayi kembar laki-laki dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Tahun ke tiga setelah kehamilannya, pasangan tersebut berencana untuk memiliki anak ketiga dengan menggunakan embryo mereka yang tersimpan di Klinik Bunda Ceria. Namun, sebelum niat iu terlaksana, keluarga ini mengalami kecelakaan tragis yang mengakibatk seluruh anggota keluarga Asep Jatnika (suami, istri dan kedua anak mereka) meninggal dunia. Keadaan ini baru diketahui tiga tahun kemudian oleh klinik Bunda Ceria, ketika mereka berusaha menghubungi (alm) Bapak Asep Jatnika untuk meminta ijin penggunaan embryo keluarga tersebut pada penelitian sel punca embryonic (embryonic stem cell) oleh sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Penelitian tersebut telah mendapatkan ijin dari pihak yang berwenang dan para peneliti berharap dapat menggunakan embryo milik keluarga Asep Jatnika pada penelitian mereka”.
Studi kasus ini diadaptasi dari The Orphan Embryos:
A Case Study in Bioethics (Iowa State University, USA)
  1. Maria M. C. de Gouveia, Dept. Biology, University of Madeira, Portugal
  2. Enrique Ianez Pareja, Dept. Microbiology, University of Granada, Spain
  3. Donald Sakaguchi, Neuroscience Program, Iowa State University, USA
  4. Heloisa G. dos Santos, Hospital S. Maria and Faculdade Medicina, Univ. de Lisboa, Portugal
  5. Peter Whittaker, National University of Ireland, Ireland


Apakah klinik IVF memiliki wewenang untuk menyerahkan embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika kepada tim peneliti sel punca?. Menurut pertimbangan saudara siapa yang berhak terhadap embryo “yatim-piatu” keluarga Asep Jatnika
Pembahasan:
Klinik Bunda Ceria tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan embrio yatim piatu keluarga Asep Jatnika kepada tim peneliti sel punca tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari pihak yang berhak dan bertanggung jawab atas embrio tersebut. Pada kasus ini, yang memliki hak terhadap embrio itu adalah ahli waris dari pasangan Asep Jatnika dan Shinta Bella. Pada embrio lebih tepat dikenakan hukum waris daripada hukum wali karena bentuk embrio adalah sel hidup, bukan bayi/anak yang belum dewasa, sehingga tidak termasuk dalam kategori sebagaimana termaktub dalam pasal 330 KUH Perdata yang mengatur tentang perwalian.
 Dalam KUH Perdata pasal 832 dan 899 dijelaskan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama serta mereka yang disebut dalam wasiat yang dibuat oleh si pewaris. Asas penderajatan dan asas saisine, selanjutnya memberikan landasan bahwa keluarga yang memiliki hubungan lebih dekat dengan pasangan tersebutlah (ayah, ibu, adik, kakak dari Asep Jatnika dan Shinta Bella) yang mendapatkan prioritas utama untuk memperoleh hak milik atas embrio tersebut, berikut segala hak dan kewajiban dari pasangan yang meninggal dunia itu. Dalam hukum islam, berdasarkan QS. An Nissa ayat 11, yang berhak memperoleh hak milik atas embrio tersebut adalah ibu atau bapak dari pasangan tersebut.
Selain itu, pedoman pelayanan bayi tabung depkes tahun 2000 secara jelas melarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau dengan menggunakan embrio, ova, dan atau spermatozoa manusia tanpa seizin khusus dari siapa sel telur atau spermatozoa itu diperoleh (Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, 2000 dalam Anwar, 2010). Pedoman ini dipertegas oleh permenkes RI nomor 833/MENKES/PER/IX/2009 tentang penyelenggaraan sel punca. Pasal 3 ayat 3 permenkes itu menjelaskan bahwa penggunaan sel punca untuk kepentingan orang lain atau kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan harus mendapat persetujuan dari donor yang bersangkutan.
Dengan memperoleh kepemilikan atas embrio, berikut segala hak dan kewajiban dari pasangan yang meninggal dunia itu, maka ahli waris berhak untuk menolak atau menerima tawaran dari Klinik Bunda Ceria untuk memanfaatkan embrio tersebut dalam penelitian ESC ataupun berhak untuk mengambil keputusan lainnya atas embrio tersebut.

Jika saudara merupakan orang yang berhak untuk menerima embryo “yatim-piatu tersebut” apa yang akan saudara lakukan terhadap embryo tersebut ?
  1. Memperbolehkan embryo tersebut digunakan untuk penelitian sel punca
  2. Terus menyimpan embryo tersebut
  3. Memusnahkan embryo tersebut
  4. Menawarkan embryo tersebut untuk diadopsi oleh keluarga lain
  5. Menjual embryo tersebut kepada pihak pihak yang membutuhkan
Uraikan masalah etika yang akan saudara hadapi dan jelaskan mengapa saudara mengambil keputusan tersebut
Pembahasan:
Jika saya menjadi orang yang berhak atas embrio tersebut, yang akan saya lakukan adalah memperbolehkan penggunaannya untuk penelitian sel punca. Putusan itu dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa:
  1. Dari segi agama yang saya anut (Islam), disebutkan bahwa embrio pada fase blastula belum memiliki nyawa, sehingga pemanfaatannya untuk penelitian sel punca tidak termasuk dalam kategori pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia.
  2. Dari segi ilmu pengetahuan. Blastula belum memiliki otak dan jantung. Jantung mulai dibentuk pada minggu ketiga kehamilan sedangkan otak pada minggu ke dua belas. Itu artinya, blastula belum memiliki kesadaran dan belum memiliki kemapuan untuk merasakan rangsangan. Selain itu, jika mengacu pada kriteria kematian yang ditunjukkan dengan berhentinya fungsi jantung dan otak, maka jelas bahwa blastula belum memenuhi kriteria “kemanusiaan” sehingga penggunaannya bisa dibenarkan karena tidak bersifat mengorbankan satu individu demi individu lainnya.
  3. Dari segi kemanfaatan. Penelitian ESC yang menggunakan embrio memiliki potensi besar sebagai terapi medis yang memberikan peluang kesembuhan untuk penyakit-penyakit yang saat ini belum ditemukan obatnya. Dengan memberikan embrio itu untuk penelitian, secara tidak langsung, saya telah berkontribusi untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kemanfaatannya akan menjadi lebih besar ketimbang hanya menyimpan atau memusnahkannya.
  4. Dari segi hukum. Penelitian yang akan dilakukan oleh tim peneliti dari universitas itu telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang. Itu artinya semua aspek legal dari penelitian itu telah terpenuhi. Dengan memberikan embrio itu, saya pun tidak termasuk dalam kategori orang yang melanggar hukum karena, berdasarkan asas saisine, sebagai ahli waris saya memiliki otoritas penuh untuk menentukan nasib atas suatu objek yang saya miliki.
  5. Dari segi bioetika. Tindakan dan pertimbangan saya telah memenuhi segala kaidah dalam pengambilan keputusan, yaitu Beneficence atau tindakan berbuat baik, Non-maleficence atau tindakan yang tidak merugikan, dan Justice atau keadilan.
 
KESIMPULAN
  1. Yang berhak atas embrio itu adalah ahli waris dari pasangan Asep Jatnika dan Shinta Bella.
  2. Klinik Bunda Ceria tidak memiliki kewenangan untuk memberikan embrio tersebut kepada tim peneliti sel punca tanpa sepengetahuan dan seizin ahli waris.
  3. Keputusan terbaik yang bisa diambil terhadap embrio tersebut adalah memperbolehkan penggunaannya dalam penelitian sel punca.
  4. Embrio yatim piatu belum memiliki status moral seperti layaknya manusia, sehingga pemanfaatannya tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran moral.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, A. 2010. Penerapan Bioteknologi Rekayasa Genetika Di Bidang Medis Ditinjau Dari Perspektif Pancasila, HAM dan Hukum Kesehatan di Indonesia. Jurnal Sasi. Diunduh dari paparisa.unpatti.ac.id/paperrepo/ppr_iteminfo_lnk.php?id=296. Tanggal 20 Oktober 2012.

Campbell, Neil A, Jane B Reece, Martha R Taylor, dan Eric J Simon. 2006. Biology Concepts & Connections, Fifth Edition. San Fransisco: Pearson: Benjamin Cummings.

Chang, W. 2009. Bioetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.

KUH Perdata Pasal 330, 830, 838, 832, 899

Permenkes RI nomor 833/MENKES/PER/IX/2009. Diunduh dari www.pdpersi.co.id/peraturan/permenkes/pmk8332009.pdf. Tanggal 10 September 2012.

Quran surat Al Hijr, Ayat 28-29, Quran Surat Al-Mu’minuun, Ayat 12-14 dan Quran Surat Annisa, Ayat 7 dan 11.

Rachels, J. 2004. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Rutherford, D. 2007. The Globe: Global Development of Alcohol Policies. London: The Global Alcohol Policy Alliance. Diunduh dari http://www.ias.org.uk/resources/publications/theglobe/globe200712/gl200712_index.html tanggal 20 Oktober 2012.

Sadler, T.W. 2000. Langman’s Medical Embriology, Eighth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/7733260/Langmans-Medical-Embryology  tanggal 27 Oktober 2012.

Sudarsono. 1991. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta.

Wikipedia. 2012. Cleavage (Embryo). http://en.wikipedia.org/wiki/Cleavage_%28embryo%29. Diakses pada: 27 Oktober 2012.