Senin, 17 September 2012

Penalaran Science Atas Eksistensi Tuhan


Menurut pandangan saya science tidak dapat menunjukkan bahwa tuhan itu ada atau tidak ada. Hal ini terjadi karena:
  1. Science memiliki batasan empiris (harus bersangkut paut dengan pengalaman inderawi).
  2. Science memiliki tujuan intrinsik (tujuan science untuk science itu sendiri) dan erat hubungannya dengan materialisme. Gagasan tuhan tidak sejalan dengan idealisme science. Mari kita telusuri satu per satu: (1) Keterujian, apakah tuhan dapat diuji kebenarannya? membawa tuhan ke ranah empiris berarti harus mendefinisikan tuhan. Mendefinisi tuhan berarti membatasiNya. Para filsuf agama mungkin tidak senang. Siapkah agama-agama menjadikan tuhannya sebagai objek ilmiah? (Russel, 2004:2). Apakah konsepsi baru mengenai tuhan ini nantinya mau diterima oleh manusia, terutama yang menggunakan konsepsi lama mengenai tuhan dalam agama mereka? (2) Prinsip memperoleh kebenaran dan menghilangkan kesalahan. Bagaimana jika prinsip ini dihubungkan dengan tuhan?. Sebagian kemudian berpikir bahwa segala yang dikeluarkan oleh tuhan adalah benar. Kebenaran dari tuhan adalah kebenaran mutlak. Padahal kebenaran dalam science adalah kebenaran relatif. Dalam prinsip dasar inilah, science menjadi mati. Ketika science menemukan kebenaran mutlak, ia tidak dapat maju lagi karena ciri dari kemutlakan adalah ketidakberubahan. Selain itu, science tidak menyukai pluralisme teori, sementara dapat dipastikan kalau konsepsi manusia mengenai tuhan sangat bersifat plural. Kemunculan ilmu-ilmu melenyapkan kehendak tuhan didalamnya dan membawa tuhan ke wilayah kata benda. (3) Prediksi. Apakah tuhan dapat dimasukkan dalam komponen prediksi. Tuhan tampaknya disepakati oleh semua pihak memiliki ciri-ciri hidup yaitu berkehendak. Dapatkah science memprediksi suatu gejala alam jika kehendak tuhan dilibatkan disana?. Ada usaha untuk menunjukkan kalau kitab suci telah melakukan prediksi melebihi jamannya. Banyak penafsiran dalam beberapa agama yang mengaku kalau teks suci mereka memprediksi temuan science di masa modern (misalnya Sudarmojo, 2006 untuk Islam dan Schroeder, 2009 untuk Kristen). Hal ini adalah kesalahan memahami sifat science. Kitab suci bukanlah buku teori, ia memiliki proposisi-proposisi yang dapat ditafsirkan apapun tergantung pembacanya, berbeda dengan teori-teori science. Karena itu, prediksi yang dihasilkannya pun dapat benar atau salah, bukan tergantung pada teksnya, tapi pada penafsiran orang yang membacanya. Jika ditemukan di masa depan sesuatu yang meruntuhkan teori lama, dan ini sudah seringkali terjadi dalam sejarah science, siapkah kitab suci dinyatakan salah? Atau tafsir baru akan muncul dan kembali dibuat klaim kalau kitab suci telah memprediksi temuan baru tersebut? (4) Prinsip kemajuan, apakah keberadaan tuhan dalam science membawa pada prinsip kemajuan? Satu-satunya konsepsi tuhan yang mungkin dapat mendorong kemajuan atau setidaknya netral terhadap kemajuan science adalah konsep tuhan sebagai alam atau tuhan tipe deisme.
  3. Dengan dikembangkannya metode ilmiah oleh Descartes dan Bacon dan penemuan-penemuan besar oleh Copernicus dan Newton, science secara resmi berpisah dari agama. Science membangun sendiri pandangan dunia yang tidak menyertakan tuhan dalam pengembaraannya memahami alam (Russel, 2004:112). Kumpulan pengetahuan science tidak sama seperti agama ataupun kesenian. Agama berkenaan dengan pelestarian suatu kebenaran yang bersifat mutlak, sedangkan seni bersifat individual.
  4. Konsep tuhan tidak dapat bersesuaian dengan science. Penemuan science terus menggeser posisi tuhan sehingga tuhan hanya dapat dipakai mengisi celah-celah kecil dalam pengetahuan (God of the Gap) dan pada gilirannya, tuhan terhapus sedikit demi sedikit seiring terisinya celah tersebut oleh penemuan baru. Alih-alih menunjukan eksistensi, yang ada malah mereduksi keberadaannya.
  5. Science tidak mampu menggapai semua hal, sehingga science/nalar manusia tidak akan sampai pada tuhan.

Daftar pustaka
Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Kanisius. Yogyakarta.
Widowati, Asri. 2008. Diktat Pendidikan Sains. UNY. Yogyakarta. Available at: http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/diktat%20Pendidikan%20Sains.pdf.  Diakses pada Jumat, 14 September 2012, jam 20:00
Indopoint. 2012. Keberadaan Tuhan dan Sains Modern. Available at: http://indopoints.wordpress.com/2012/03/28/keberadaan-tuhan-dan-sains-modern-atheis-give-up/.  Diakses pada Sabtu 15 September 2012, jam 14:00

Senin, 03 September 2012

Moral dan Etika

MORAL & ETIKA

Moral

Secara etimologi, moral berasal dari kata mos (bentuk tunggal dari mores) dalam bahasa latin yang berarti kebiasaan, adat atau cara hidup. Moral juga didefinisikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan kata moral. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Jika berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan” ini berarti segi moral dari suatu perbuatan atau baik buruknya (Bertens, 1993 dalam Santosa, 2007). Adapun yang dimaksud dengan filsafat moral adalah upaya untuk mensistematiskan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita (Rachels, 2004). 
Moral memiliki dua kaidah dasar, yaitu kaidah sikap baik dan kaidah keadilan (Santosa, 2007). Semua norma moral pada dasarnya didasari oleh kaidah sikap baik. Menurut Franz Von Magniz (1975 dalam Santosa 2007), kaidah sikap baik adalah kewajibkan bertindak sedemikan rupa sehingga ada kelebihan dari akibat baik dibandingkan dengan akibat buruknya (maksimalisasi). Kaidah ini hanya berlaku jika manusia menerima kaidah yang lebih dasar lagi, yaitu manusia harus berbuat yang baik dan mencegah yang buruk. Idealnya manusia hanya menghasilkan akibat baik dan sama sekali tidak menghasilkan yang buruk. Tetapi karena sering tidak mungkin, sekurang-kurangnya akibat buruklah yang harus diminimalisir. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan secara kongkrit, tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkrit itu.
Kaidah keadilan adalah keadilan dalam membagi yang baik dan yang buruk. Dalam penentuan perlakuan yang sama, perlu diperhatikan kemampuan dan kebutuhan seseorang. Kriteria ini juga adalah ciri yang dapat membenarkan suatu perlakuan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles yang menyebutkan bahwa kemampuan dan kebutuhan adalah ciri relevan dalam rangka pertimbangan moral yang berpengaruh terhadap kebahagiaan manusia. Jadi, kesamaan sumbangan ke arah kebahagiaan orang lain tidak dimaksudkan dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhannya. Kesamaan beban yang terpaksa harus dipikul bersama-sama adalah dengan memperhatikan kemampuan anggota masing-masing.
Kesadaran akan moral berkembang melalui berbagai tahapan. Menurut Kohlberg, seperti yang dijelaskan oleh Bartens (1993 dalam Santosa, 2007) enam tahap dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu secara berturut-turut adalah sebagai berikut: pertama adalah tingkat prakonvensional. Pada tingkat ini anak mengakui bahwa adanya aturan-aturan baik serta buruk mulai mempunyai arti baginya. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawa oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau menyenangkan. Yang mencolok adalah motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan bisa mengalami banyak perubahan. Tingkat ini meliputi tahap orientasi hukuman dan kepatuhan (anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas kongkrit [orang tua, guru] dan hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh) dan tahap orientasi relatif instrumental (anak mulai menyadari kepentingan orang lain yang bersifat tukar menukar. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan melakukan sesuatu untuk kamu” bukannya soal loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
Kedua adalah tingkat konvensional. Anak biasanya (tetapi tidak selalu) mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tigabelas tahun. Di sini, perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Dalam sikapnya, anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan harapan orang-orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melainkan menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan keterlibatan yang berlaku. Singkatnya, anak mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat ini meliputi tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis” (anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari anggota atau kelompok lain. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka) dan tahap orientasi hukum dan ketertiban (anak paham dengan kelompok mana dia menyesuaikan diri, dengan memperluas dari kelompok akrab ke kelompok abstrak, seperti suku bangsa, agama dan negara. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang menyimpang dari ketertiban sosial dan aturan-aturan tradisional jelaslah bersalah).
Ketiga adalah tingkat paskakonvensional. Kohlberg menyebut tingka ini sebagai tingkat otonom atau tingkat berprinsip (principled level). Pada tingkat ini, hidup moral dipandang atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi. Manusia muda mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak selalu benar. Menjadi anggota suatu kelompok, tidak terhindar dari kenyataan bahwa kadangkala ia harus berani mengambil sikap sendiri. Tingkat ini terdiri dari tahap orientasi kontak-sosial legalitas (disini disadari adanya relativisme nilai-nilai dan pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui dengan cara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat pribadi) dan tahap orientasi prinsip etika yang universal (disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip hati nurani ini akan merasakan penyesuaian yang mendalam. Ia mengutuk dirinya karena tidak mengikuti keyakinan moralnya. Menurut penelitian Kohlberg, hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini).
Sebuah contoh kontroversi moral berikut diharapkan akan membantu kita untuk memahami moral lebih baik lagi dan membantu kita untuk mencapai konsepsi minimum dari moralitas. Pada bulan Agustus 2000, seorang perempuan muda dari Gozo, sebuah pulau dekat Malta, menyadari bahwa ia mengandung anak kembar siam. Mengetahui bahwa fasilitas kesehatan di Gozo tidak memadai untuk menangani komplikasi dari kelahiran yang demikian, dia dan suaminya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit St. Mary di Manchester, Inggris untuk melahirkan bayinya. Bayi yang kemudian diberi nama Jodie dan Mary ini saling melekat pada perut bagian bawah. Tulang belakang mereka menyatu dan mereka mempunyai satu hati dan sepasang paru-paru. Jodie yang lebih kuat, menyumbang darah untuk saudarinya.
Sejumlah pasangan bayi kembar tidak mengalami masalah. Mereka tumbuh hingga dewasa dan kadang menikah dan mempunyai anak. Tetapi harapan untuk Mary dan Jodie gelap. Dokter menyatakan bahwa tanpa intervensi, mereka akan meninggal dalam enam bulan. Satu-satunya harapan adalah mengoperasi mereka untuk memisahkannya. Hal ini akan menyelamatkan Jodie, tetapi Mary akan meninggal dengan segera. Orang tua mereka menolak memberi izin untuk mengoperasi dengan alasan bahwa hal itu akan mempercepat kematian Mary. Mereka berkeyakinan bahwa jika tuhan menghendaki kedua anaknya untuk tetap hidup, maka itu akan terjadi juga. Pihak rumah sakit yang yakin bahwa perlu dilakukan tindakan yang dapat menyelamatkan mereka, setidaknya salah satu diantara mereka, memohon izin ke pengadilan untuk memisahkan keduanya meskipun orangtuanya tidak menghendaki. Pengadilan memberikan izin dan kemudian operasi tersebut dilakukan. Sebagaimana telah diduga, Jodie hidup dan Mary meninggal.
Dalam memikirkan kasus ini, kita hendaknya memisahkan persoalan siapa yang harus membuat keputusan dari persoalan apakah keputusan yang seharusnya. Bisa saja anda berpikir, misalnya, bahwa keputusan terletak pada diri orang tua, lalu anda berkeberatan terhadap campur tangan pengadilan. Tetapi masih tertinggal pertanyaan mengenai pilihan paling bijaksana dari orang tua itu yang diambil. Kita pusatkan perhatian pada hal ini: apakah salah atau benar, dalam situasi ini, untuk memusahkan si kembar?
Beberapa argumenpun dikemukakan. Pertama, argumen perlunya menyelamatkan sebanyak mungkin orang.  Argumen yang jelas untuk memisahkan si kembar adalah adanya pilihan antara menyelamatkan salah satu anak atau membiarkan keduanya mati. Kedua adalah argumen tentang kesucian hidup manusia. Orang tua mencintai kedua anaknya dan berpikir kelirulah mengorbankan salah satu diantara keduanya. Gagasan bahwa semua hidup manusia berharga, tanpa memandang usia, ras, kelas sosial atau kecacatan, merupakan inti dari tradisi moral barat, sehingga membunuh seseorang, apapun tujuannya mutlak dilarang. Tetapi hakim yang mengambil keputusan itu memiliki pemikiran lain bahwa dalam menjalankan operasi, Mary tidak dibunuh, dia hanya dipisahkan dari saudaranya. Dia meninggal karena memang tubuhnya sendiri tidak mampu menahan kehidupannya. Dengan demikian, penyebab kematiannya bukanlah operasi melainkan kelemahannya sendiri. Para dokter juga tampaknya memiliki pandangan demikian. Ketika akhirnya operasi itu dijalankan mereka terus berusaha mempertahankan kehidupan Mary. Tentu saja banyak moralis, terutama para pemikir religius, tidak yakin. Namun, inilah arus pemikiran yang membujuk banyak orang untuk bisa menyetujui.
Dari contoh dan penjelasan di atas, konsep minimum moralitas dapat diartikan sebagai usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal, yakni untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu.

Etika
Secara etimologis, etika berasal dari kata ethos dalam bahasa yunani yang berarti watak kesusilaan atau adat (Bertens, 1993 dalam Santosa, 2007). Etika adalah ilmu pengetahuan yang menentukan/menilai tingkah laku itu benar atau salah, baik atau buruk (William Lillie, 1957 dalam santosa 2007). Sementara menurut Paul Edwards (1967 dalam Santosa, 2007), istilah etika digunakan dalam tiga term yang berbeda tetapi dalam cara/arah yang berhubungan, yang berarti 1) contoh/teladan umum atau pedoman hidup, 2) seperangkat aturan tentang tingkah laku atau “moral code” dan 3) penyelidikan mengenai pedoman hidup dan kode etik. Definisi lain mengenai etika dikemukakan oleh Sunoto (1983 dalam Santosa, 2007). Menurutnya, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan manusia terutama tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan dilihat dari kacamata baik dan buruk.
Kemudian muncul istilah etis yang menurut franz Magnis Suseno (1993 dalam santosa, 2007) berarti sesuai dengan tanggung jawab moral. Istilah ini digunakan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme moral yang merupakan ciri khas zaman sekarang. Etis juga berarti suatu predikat yang digunakan untuk membedakan perbuatan-perbuatan atau orang-orang  tertentu dengan yang lain. Etis dalam arti ini sama dengan susila. Untuk dikatakan bersifat susila tidak perlu sama atau sesuai dengan kebiasaan yang tetap, dari suatu kelompok manusia, karena manusia dapat mencap salah satu dari kebiasaan yang tetap itu sebagai sesuatu yang tidak susila (Suyono Sumargono, 1992 dalam Santosa, 2007). Istilah lain yang identik dengan etika adalah: (1) susila [sansekerta], yang lebih menunjuk pada dasar, prinsip, aturan hidup yang lebih baik dan (2) akhlak yang berarti moral.
Etika merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai cabang dari filsafat, etika menerima keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Tugas tertentu bagi etika, yaitu mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik (Poedjawijatna, 1972 dalam Santosa 2007).
Objek dari etika adalah pernyataan moral (Franz Von Magnis, 1979 dalam santosa 2007). menurut Poedjawinata (1986 dalam Santosa, 2007), objek material etika adalah manusia sedangkan objek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja.  
Etika dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya: 1) etika deskriptif: melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Menurut bartens (1993 dalam Santosa, 2007), etika ini mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau substruktural-substruktural tertentu dalam suatu periode sejarah. Contohnya: sejarah etika. 2) etika normatif: merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang tempat diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral berlangsung. Di sini ahli yang bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, tetapi harus melibatkan diri dengan mengemukakan penilaiannya tentang perilaku manusia.
Menurut bartens, etika normatif dapat dibagi menjadi (a) etika umum, yang memandang tema-tema umum seperti apa itu norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan tanggung jawab manusia dengan kebebasan. Tema-tema seperti inilah yang menjadi objek penyelidikan etika umum. (b) etika khusus, berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. 3) etika individu: merupakan etika yang objeknya tingkah laku manusia sebagai pribadi, misalnya tujuan hidup manusia. 4) etika sosial: membicarakan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, misalnya hubungan dalam keluarga, dalam masyarakat, dalam negara dan lain-lain (Sunoto, 1989 dalam Santosa, 2007).  5) etika terapan: menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh, etika terapan yang membahas profesi dapat disebut etika kedokteran, etika politik dan etika hukum. Diantara masalah yang dibahas oleh etika terapan dapat disebut penggunaan senjata nuklir dan pencemaran lingkungan hidup. 6) metaetika: seolah-olah bergerak pada tahap yang lebih tinggi dari perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis”. Dapat dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika mengarahkan perhatiannya pada arti khusus dari bahasa-bahasa etis itu.
Untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai etika, berikut akan dipaparkan sebuah contoh perspektif mengenai etika baru dalam bidang sosial politik yang bertema “demokrasi sebagai tuntutan dan tantangan”. Kalau demokrasi merupakan suatu tuntutan moral, hal itu berarti bahwa setiap bentuk pemerintahan yang tidak demokratis sebenarnya tidak etis. Itu berarti pula bahwa rezim yang diktatorial  atau otoriter tidak boleh dibiarkan saja, tapi wajib diusahakan agar secepatnya diganti. Kalau begitu, kita tidak boleh mengatakan bahwa pemerintahan demokratis atau tidak demokratis semata-mata merupakan urusan dalam negeri, sehingga terserah pada negara yang bersangkutan mau mempertahankan bentuk pemerintahan itu atau tidak. Kalau memang tidak etis, negara-negara lain tidak boleh tinggal netral saja, tetapi harus mendesak dengan segala daya upaya agar tata cara pemerintahan otoriter itu diganti dengan sistem demokratis.
Dalam sejarah modern, suatu kasus paralel ditemukan dalam negara yang mendasarkan penyusunan masyarakatnya atas suatu prinsip yang tidak etis seperti diskriminasi ras. Hal ini terjadi di Afrika selatan. Puluhan tahun lamanya negara ini memiliki UUD yang menerima diskriminasi ras, sehingga masyarakatnya dapat diatur menurut sistem Apertheid, pemisahan ketat dan konsekuen antara golongan kulit putih dan kulit hitam. Banyak negara lain menolak keadaan diskriminatif itu sebagai tidak etis. Mereka terus menerus memprotes susunan negara yang tidak etis itu, bahkan hingga mengadakan boikot ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik. Lama kelamaan pertentangan itu makin meluas yang menyebabkan Afrika selatan makin terisolir dari pergaulan internasional. Akhirnya mereka menyerah pada tekanan internasional itu dan mengadakan pemilu multi etnis pertama yang mengangkat Nelson Mandela sebagai presiden.
Apakah bentuk pemerintahan demokratis merupakan suatu tuntutan moral sama seperti tuntutan mengubah sistem susunan negara atas dasar diskriminasi ras? Kini terdapat pandangan yang semakin kuat bahwa sistem pemerintahan demokratis merupakan suatu tuntutan moral. Setiap cara pemerintahan yang tidak demokratis harus dianggap tidak etis. Mengapa begitu? Karena demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang mengakui kedaulatan rakyat. Seorang raja yang baik hatipun tidak dapat menjamin kedaulatan rakyat selama ia memegang kuasa absolut. Lord Acton sudah menjelaskan Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely (kuasa cenderung disalahgunakan, kuasa absolut disalahgunakan secara absolut).
Sejak 1998, indonesia juga ikut dalam gerakan demokrasi ini. Akan tetapi seperti yang telah dialami oleh negara lain, Indonesia pun harus mengakui bahwa merealisasikan masyarakat demokratis itu jauh dari mudah. Permulaanya memang belum terlalu sulit. Dibanyak tempat, demokrasi dipeluk dengan semangat yang berkobar-kobar. Kesulitannya baru terasa bila orang mencoba mengisi demokrasi itu secara kongkrit. Dengan kata lain, demokrasi tidak saja merupakan tuntutan, tapi serentak juga merupakan tantangan yang mengajak rakyatnya untuk berjuang terus.
Selama orde baru, penguasa selalu pandai memanipulasi MPR yang menurut UUD harus menjalankan kedaulatan tersebut. Demokrasi pancasila menjadi bentuk pemerintahan demokratis semu. Tantangan pokok bagi kita adalah mengembangkan suatu demokrasi sungguhan yang cocok dengan situasi bangsa dan betul-betul mewujudkan kedaulatan rakyat. Dapat dipahami bila dalam menjalankan pemilihan legislatif 2004 dan pemilihan presiden sesudahnya masih banyak tampak kekurangan dan kelemahan, baik dalam peraturan hukum yang mengaturnya maupun dalam pelaksanaannya. Bukan saja kalangan politik, melainkan juga masyarakat sipil harus menyelidiki dan mendiskusikan semua kekurangan itu. Dan dalam hal ini mereka tidak boleh terpimpin oleh kepentingan partai atau golongan, tetapi semata-mata oleh kepentingan bersama sebagai bangsa.
Kekurangan lain adalah bahwa DPR lama berfungsi terus setelah DPR baru sudah terpilih. DPR baru yang dipilih pada April 2004 harus menunggu 6 bulan sebelum boleh memulai tugasnya. Dalam perspektif demokrasi, situasi ini agak aneh. Dalam pemilu rakyat menyatakan kehendaknya. Hal itu berarti bahwa saat DPR baru diumumkan, DPR lama otomatis kehilangan legitimasinya. Jika kita mengikuti pemberitaan dalam media masa, ada banyak hal lain yang harus dibenahi supaya kita dapat membangun demokrasi yang sehat. Bahwa anggota DPRD yang baru dilantik yang mempunyai urusan dengan pengadilan, adalah sulit untuk diterima dalam demokrasi yang bermutu. Karena itu, menjadi sangat hakiki menciptakan suatu kerangka demokratis yang bersih dimana wabah KKN tidak mungkin berkecambuk lagi. Evaluasi dan perbaikan-perbaikan harus terus kita lakukan demi terciptanya sistem demokrasi yang sebenar-benarnya dan bersih (Bertens, 2009).
Dari contoh pemaparan diatas, kita bisa mengetahui bahwa etika dipakai untuk pengkajian sistem-sistem nilai yang ada (Santosa, 2007).

Kesimpulan
  1. Etika identik dengan moral yang berarti adat, kebiasaan atau watak kesusilaan. Hanya saja bahasa asalnya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
  2. Terdapat sedikit perbedaan dalam pemakaian etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang ada sedangkan moral/moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang diuji.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2009. Perspektif Etika baru, 55 Essai tentang Masalah Aktual. Kanisius. Yogyakarta.
Rachels, J. 2004. Filsafat Moral. Kanisius. Yogyakarta.
Santosa, H. 2007. Etika dan Teknologi. Tiara Wacana. Yogyakarta.