MORAL & ETIKA
Moral
Secara etimologi, moral berasal dari kata mos (bentuk
tunggal dari mores) dalam bahasa latin yang berarti kebiasaan, adat atau cara
hidup. Moral juga didefinisikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Sedangkan moralitas (dari kata sifat latin moralis) mempunyai arti
yang pada dasarnya sama dengan kata moral. Moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Jika berbicara
tentang “moralitas suatu perbuatan” ini berarti segi moral dari suatu perbuatan
atau baik buruknya (Bertens, 1993 dalam Santosa, 2007). Adapun yang dimaksud
dengan filsafat moral adalah upaya untuk mensistematiskan pengetahuan tentang
hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita (Rachels, 2004).
Moral memiliki dua kaidah dasar, yaitu kaidah sikap baik dan
kaidah keadilan (Santosa, 2007). Semua norma moral pada dasarnya didasari oleh
kaidah sikap baik. Menurut Franz Von Magniz (1975 dalam Santosa 2007), kaidah
sikap baik adalah kewajibkan bertindak sedemikan rupa sehingga ada kelebihan
dari akibat baik dibandingkan dengan akibat buruknya (maksimalisasi). Kaidah
ini hanya berlaku jika manusia menerima kaidah yang lebih dasar lagi, yaitu
manusia harus berbuat yang baik dan mencegah yang buruk. Idealnya manusia hanya
menghasilkan akibat baik dan sama sekali tidak menghasilkan yang buruk. Tetapi
karena sering tidak mungkin, sekurang-kurangnya akibat buruklah yang harus
diminimalisir. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan secara kongkrit,
tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkrit itu.
Kaidah keadilan adalah keadilan dalam membagi yang baik dan
yang buruk. Dalam penentuan perlakuan yang sama, perlu diperhatikan kemampuan
dan kebutuhan seseorang. Kriteria ini juga adalah ciri yang dapat membenarkan
suatu perlakuan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles yang
menyebutkan bahwa kemampuan dan kebutuhan adalah ciri relevan dalam rangka
pertimbangan moral yang berpengaruh terhadap kebahagiaan manusia. Jadi,
kesamaan sumbangan ke arah kebahagiaan orang lain tidak dimaksudkan dalam arti
sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhannya.
Kesamaan beban yang terpaksa harus dipikul bersama-sama adalah dengan
memperhatikan kemampuan anggota masing-masing.
Kesadaran akan moral berkembang melalui berbagai tahapan. Menurut
Kohlberg, seperti yang dijelaskan oleh Bartens (1993 dalam Santosa, 2007) enam
tahap dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga
tingkat sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu secara
berturut-turut adalah sebagai berikut: pertama adalah tingkat prakonvensional.
Pada tingkat ini anak mengakui bahwa adanya aturan-aturan baik serta buruk
mulai mempunyai arti baginya. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya
ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi untuk penilaian moral
terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawa
oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau menyenangkan.
Yang mencolok adalah motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan bisa mengalami
banyak perubahan. Tingkat ini meliputi tahap orientasi hukuman dan kepatuhan
(anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas kongkrit [orang tua, guru] dan
hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh) dan tahap orientasi relatif
instrumental (anak mulai menyadari kepentingan orang lain yang bersifat tukar
menukar. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “jika kamu melakukan
sesuatu untuk saya, maka saya akan melakukan sesuatu untuk kamu” bukannya soal
loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
Kedua adalah tingkat konvensional. Anak biasanya (tetapi
tidak selalu) mulai beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tigabelas
tahun. Di sini, perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum
dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Dalam sikapnya, anak tidak hanya
menyesuaikan diri dengan harapan orang-orang tertentu atau dengan ketertiban sosial,
melainkan menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan
keterlibatan yang berlaku. Singkatnya, anak mengidentifikasikan diri dengan
kelompok sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat ini meliputi tahap
penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis” (anak cenderung
mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari anggota atau kelompok lain.
Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain
serta disetujui oleh mereka) dan tahap orientasi hukum dan ketertiban (anak
paham dengan kelompok mana dia menyesuaikan diri, dengan memperluas dari
kelompok akrab ke kelompok abstrak, seperti suku bangsa, agama dan negara.
Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap. Perilaku yang baik adalah melakukan
kewajibannya, menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang
berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang menyimpang dari ketertiban
sosial dan aturan-aturan tradisional jelaslah bersalah).
Ketiga adalah tingkat paskakonvensional. Kohlberg menyebut
tingka ini sebagai tingkat otonom atau tingkat berprinsip (principled level).
Pada tingkat ini, hidup moral dipandang atas dasar prinsip-prinsip yang dianut
dalam batin. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan
sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar
dari kebebasan pribadi. Manusia muda mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak
selalu benar. Menjadi anggota suatu kelompok, tidak terhindar dari kenyataan
bahwa kadangkala ia harus berani mengambil sikap sendiri. Tingkat ini terdiri
dari tahap orientasi kontak-sosial legalitas (disini disadari adanya
relativisme nilai-nilai dan pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha
untuk mencapai konsensus. Disamping apa yang disetujui dengan cara demokratis,
baik buruknya tergantung pada nilai-nilai dan pendapat pribadi) dan tahap
orientasi prinsip etika yang universal (disini orang mengatur tingkah laku dan
penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa
prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya
prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain,
persamaan hak dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang
melanggar prinsip hati nurani ini akan merasakan penyesuaian yang mendalam. Ia
mengutuk dirinya karena tidak mengikuti keyakinan moralnya. Menurut penelitian
Kohlberg, hanya sedikit orang yang mencapai tahap keenam ini).
Sebuah contoh kontroversi moral berikut diharapkan akan
membantu kita untuk memahami moral lebih baik lagi dan membantu kita untuk
mencapai konsepsi minimum dari moralitas. Pada bulan Agustus 2000, seorang
perempuan muda dari Gozo, sebuah pulau dekat Malta, menyadari bahwa ia
mengandung anak kembar siam. Mengetahui bahwa fasilitas kesehatan di Gozo tidak
memadai untuk menangani komplikasi dari kelahiran yang demikian, dia dan
suaminya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit St. Mary di Manchester, Inggris
untuk melahirkan bayinya. Bayi yang kemudian diberi nama Jodie dan Mary ini
saling melekat pada perut bagian bawah. Tulang belakang mereka menyatu dan mereka
mempunyai satu hati dan sepasang paru-paru. Jodie yang lebih kuat, menyumbang
darah untuk saudarinya.
Sejumlah pasangan bayi kembar tidak mengalami masalah.
Mereka tumbuh hingga dewasa dan kadang menikah dan mempunyai anak. Tetapi
harapan untuk Mary dan Jodie gelap. Dokter menyatakan bahwa tanpa intervensi,
mereka akan meninggal dalam enam bulan. Satu-satunya harapan adalah mengoperasi
mereka untuk memisahkannya. Hal ini akan menyelamatkan Jodie, tetapi Mary akan
meninggal dengan segera. Orang tua mereka menolak memberi izin untuk
mengoperasi dengan alasan bahwa hal itu akan mempercepat kematian Mary. Mereka
berkeyakinan bahwa jika tuhan menghendaki kedua anaknya untuk tetap hidup, maka
itu akan terjadi juga. Pihak rumah sakit yang yakin bahwa perlu dilakukan
tindakan yang dapat menyelamatkan mereka, setidaknya salah satu diantara
mereka, memohon izin ke pengadilan untuk memisahkan keduanya meskipun
orangtuanya tidak menghendaki. Pengadilan memberikan izin dan kemudian operasi
tersebut dilakukan. Sebagaimana telah diduga, Jodie hidup dan Mary meninggal.
Dalam memikirkan kasus ini, kita hendaknya memisahkan
persoalan siapa yang harus membuat
keputusan dari persoalan apakah
keputusan yang seharusnya. Bisa saja anda berpikir, misalnya, bahwa
keputusan terletak pada diri orang tua, lalu anda berkeberatan terhadap campur
tangan pengadilan. Tetapi masih tertinggal pertanyaan mengenai pilihan paling
bijaksana dari orang tua itu yang diambil. Kita pusatkan perhatian pada hal
ini: apakah salah atau benar, dalam situasi ini, untuk memusahkan si kembar?
Beberapa argumenpun dikemukakan. Pertama, argumen perlunya menyelamatkan sebanyak
mungkin orang. Argumen yang jelas
untuk memisahkan si kembar adalah adanya pilihan antara menyelamatkan salah
satu anak atau membiarkan keduanya mati. Kedua adalah argumen tentang kesucian hidup manusia. Orang tua
mencintai kedua anaknya dan berpikir kelirulah mengorbankan salah satu diantara
keduanya. Gagasan bahwa semua hidup manusia berharga, tanpa memandang usia,
ras, kelas sosial atau kecacatan, merupakan inti dari tradisi moral barat,
sehingga membunuh seseorang, apapun tujuannya mutlak dilarang. Tetapi hakim
yang mengambil keputusan itu memiliki pemikiran lain bahwa dalam menjalankan
operasi, Mary tidak dibunuh, dia hanya dipisahkan dari saudaranya. Dia
meninggal karena memang tubuhnya sendiri tidak mampu menahan kehidupannya.
Dengan demikian, penyebab kematiannya bukanlah operasi melainkan kelemahannya
sendiri. Para dokter juga tampaknya memiliki pandangan demikian. Ketika
akhirnya operasi itu dijalankan mereka terus berusaha mempertahankan kehidupan
Mary. Tentu saja banyak moralis, terutama para pemikir religius, tidak yakin.
Namun, inilah arus pemikiran yang membujuk banyak orang untuk bisa menyetujui.
Dari contoh dan penjelasan di atas, konsep minimum moralitas
dapat diartikan sebagai usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal,
yakni untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot
yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh
tindakan itu.
Etika
Secara etimologis, etika berasal dari kata ethos dalam
bahasa yunani yang berarti watak kesusilaan atau adat (Bertens, 1993 dalam
Santosa, 2007). Etika adalah ilmu pengetahuan yang menentukan/menilai tingkah
laku itu benar atau salah, baik atau buruk (William Lillie, 1957 dalam santosa
2007). Sementara menurut Paul Edwards (1967 dalam Santosa, 2007), istilah etika
digunakan dalam tiga term yang berbeda tetapi dalam cara/arah yang berhubungan,
yang berarti 1) contoh/teladan umum atau pedoman hidup, 2) seperangkat aturan
tentang tingkah laku atau “moral code” dan 3) penyelidikan mengenai pedoman
hidup dan kode etik. Definisi lain mengenai etika dikemukakan oleh Sunoto (1983
dalam Santosa, 2007). Menurutnya, etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan manusia terutama tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan dengan
sadar dan dilihat dari kacamata baik dan buruk.
Kemudian muncul istilah etis yang menurut franz Magnis
Suseno (1993 dalam santosa, 2007) berarti sesuai dengan tanggung jawab moral.
Istilah ini digunakan untuk mengambil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme
moral yang merupakan ciri khas zaman sekarang. Etis juga berarti suatu predikat
yang digunakan untuk membedakan perbuatan-perbuatan atau orang-orang tertentu dengan yang lain. Etis dalam arti
ini sama dengan susila. Untuk dikatakan bersifat susila tidak perlu sama atau
sesuai dengan kebiasaan yang tetap, dari suatu kelompok manusia, karena manusia
dapat mencap salah satu dari kebiasaan yang tetap itu sebagai sesuatu yang
tidak susila (Suyono Sumargono, 1992 dalam Santosa, 2007). Istilah lain yang
identik dengan etika adalah: (1) susila [sansekerta], yang lebih menunjuk pada
dasar, prinsip, aturan hidup yang lebih baik dan (2) akhlak yang berarti moral.
Etika merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari
kebenaran dan sebagai cabang dari filsafat, etika menerima keterangan (benar)
yang sedalam-dalamnya. Tugas tertentu bagi etika, yaitu mencari ukuran baik
buruknya tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah
yang baik (Poedjawijatna, 1972 dalam Santosa 2007).
Objek dari etika adalah pernyataan moral (Franz Von Magnis,
1979 dalam santosa 2007). menurut Poedjawinata (1986 dalam Santosa, 2007),
objek material etika adalah manusia sedangkan objek formalnya adalah tindakan
manusia yang dilakukan dengan sengaja.
Etika dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya:
1) etika deskriptif: melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, baik dan
buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Menurut bartens
(1993 dalam Santosa, 2007), etika ini mempelajari moralitas yang terdapat pada
individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau
substruktural-substruktural tertentu dalam suatu periode sejarah. Contohnya:
sejarah etika. 2) etika normatif: merupakan bagian terpenting dari etika dan
bidang tempat diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral
berlangsung. Di sini ahli yang bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton
netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, tetapi harus melibatkan diri
dengan mengemukakan penilaiannya tentang perilaku manusia.
Menurut bartens, etika normatif dapat dibagi menjadi (a)
etika umum, yang memandang tema-tema umum seperti apa itu norma etis? Mengapa
norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan tanggung jawab manusia dengan
kebebasan. Tema-tema seperti inilah yang menjadi objek penyelidikan etika umum.
(b) etika khusus, berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas
wilayah perilaku manusia yang khusus. 3) etika individu: merupakan etika yang
objeknya tingkah laku manusia sebagai pribadi, misalnya tujuan hidup manusia.
4) etika sosial: membicarakan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain, misalnya hubungan dalam keluarga, dalam
masyarakat, dalam negara dan lain-lain (Sunoto, 1989 dalam Santosa, 2007). 5) etika terapan: menyoroti suatu profesi
atau suatu masalah. Sebagai contoh, etika terapan yang membahas profesi dapat
disebut etika kedokteran, etika politik dan etika hukum. Diantara masalah yang
dibahas oleh etika terapan dapat disebut penggunaan senjata nuklir dan
pencemaran lingkungan hidup. 6) metaetika: seolah-olah bergerak pada tahap yang
lebih tinggi dari perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis”. Dapat
dikatakan juga bahwa metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan
etis. Metaetika mengarahkan perhatiannya pada arti khusus dari bahasa-bahasa
etis itu.
Untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai etika, berikut
akan dipaparkan sebuah contoh perspektif mengenai etika baru dalam bidang
sosial politik yang bertema “demokrasi
sebagai tuntutan dan tantangan”. Kalau demokrasi merupakan suatu tuntutan
moral, hal itu berarti bahwa setiap bentuk pemerintahan yang tidak demokratis
sebenarnya tidak etis. Itu berarti pula bahwa rezim yang diktatorial atau otoriter tidak boleh dibiarkan saja,
tapi wajib diusahakan agar secepatnya diganti. Kalau begitu, kita tidak boleh
mengatakan bahwa pemerintahan demokratis atau tidak demokratis semata-mata
merupakan urusan dalam negeri, sehingga terserah pada negara yang bersangkutan
mau mempertahankan bentuk pemerintahan itu atau tidak. Kalau memang tidak etis,
negara-negara lain tidak boleh tinggal netral saja, tetapi harus mendesak
dengan segala daya upaya agar tata cara pemerintahan otoriter itu diganti
dengan sistem demokratis.
Dalam sejarah modern, suatu kasus paralel ditemukan dalam
negara yang mendasarkan penyusunan masyarakatnya atas suatu prinsip yang tidak
etis seperti diskriminasi ras. Hal ini terjadi di Afrika selatan. Puluhan tahun
lamanya negara ini memiliki UUD yang menerima diskriminasi ras, sehingga
masyarakatnya dapat diatur menurut sistem Apertheid, pemisahan ketat dan
konsekuen antara golongan kulit putih dan kulit hitam. Banyak negara lain
menolak keadaan diskriminatif itu sebagai tidak etis. Mereka terus menerus
memprotes susunan negara yang tidak etis itu, bahkan hingga mengadakan boikot
ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik. Lama kelamaan pertentangan itu makin
meluas yang menyebabkan Afrika selatan makin terisolir dari pergaulan
internasional. Akhirnya mereka menyerah pada tekanan internasional itu dan mengadakan
pemilu multi etnis pertama yang mengangkat Nelson Mandela sebagai presiden.
Apakah bentuk pemerintahan demokratis merupakan suatu
tuntutan moral sama seperti tuntutan mengubah sistem susunan negara atas dasar
diskriminasi ras? Kini terdapat pandangan yang semakin kuat bahwa sistem
pemerintahan demokratis merupakan suatu tuntutan moral. Setiap cara
pemerintahan yang tidak demokratis harus dianggap tidak etis. Mengapa begitu?
Karena demokrasi adalah satu-satunya bentuk pemerintahan yang mengakui kedaulatan
rakyat. Seorang raja yang baik hatipun tidak dapat menjamin kedaulatan rakyat
selama ia memegang kuasa absolut. Lord Acton sudah menjelaskan Power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely (kuasa cenderung disalahgunakan, kuasa absolut disalahgunakan
secara absolut).
Sejak 1998, indonesia juga ikut dalam gerakan demokrasi ini.
Akan tetapi seperti yang telah dialami oleh negara lain, Indonesia pun harus
mengakui bahwa merealisasikan masyarakat demokratis itu jauh dari mudah.
Permulaanya memang belum terlalu sulit. Dibanyak tempat, demokrasi dipeluk
dengan semangat yang berkobar-kobar. Kesulitannya baru terasa bila orang
mencoba mengisi demokrasi itu secara kongkrit. Dengan kata lain, demokrasi
tidak saja merupakan tuntutan, tapi serentak juga merupakan tantangan yang
mengajak rakyatnya untuk berjuang terus.
Selama orde baru, penguasa selalu pandai memanipulasi MPR
yang menurut UUD harus menjalankan kedaulatan tersebut. Demokrasi pancasila
menjadi bentuk pemerintahan demokratis semu. Tantangan pokok bagi kita adalah
mengembangkan suatu demokrasi sungguhan yang cocok dengan situasi bangsa dan
betul-betul mewujudkan kedaulatan rakyat. Dapat dipahami bila dalam menjalankan
pemilihan legislatif 2004 dan pemilihan presiden sesudahnya masih banyak tampak
kekurangan dan kelemahan, baik dalam peraturan hukum yang mengaturnya maupun
dalam pelaksanaannya. Bukan saja kalangan politik, melainkan juga masyarakat
sipil harus menyelidiki dan mendiskusikan semua kekurangan itu. Dan dalam hal
ini mereka tidak boleh terpimpin oleh kepentingan partai atau golongan, tetapi
semata-mata oleh kepentingan bersama sebagai bangsa.
Kekurangan lain adalah bahwa DPR lama berfungsi terus
setelah DPR baru sudah terpilih. DPR baru yang dipilih pada April 2004 harus
menunggu 6 bulan sebelum boleh memulai tugasnya. Dalam perspektif demokrasi,
situasi ini agak aneh. Dalam pemilu rakyat menyatakan kehendaknya. Hal itu
berarti bahwa saat DPR baru diumumkan, DPR lama otomatis kehilangan
legitimasinya. Jika kita mengikuti pemberitaan dalam media masa, ada banyak hal
lain yang harus dibenahi supaya kita dapat membangun demokrasi yang sehat.
Bahwa anggota DPRD yang baru dilantik yang mempunyai urusan dengan pengadilan,
adalah sulit untuk diterima dalam demokrasi yang bermutu. Karena itu, menjadi
sangat hakiki menciptakan suatu kerangka demokratis yang bersih dimana wabah
KKN tidak mungkin berkecambuk lagi. Evaluasi dan perbaikan-perbaikan harus
terus kita lakukan demi terciptanya sistem demokrasi yang sebenar-benarnya dan
bersih (Bertens, 2009).
Dari contoh pemaparan diatas, kita bisa mengetahui bahwa
etika dipakai untuk pengkajian sistem-sistem nilai yang ada (Santosa, 2007).
Kesimpulan
- Etika
identik dengan moral yang berarti adat, kebiasaan atau watak kesusilaan. Hanya
saja bahasa asalnya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani sedangkan moral
berasal dari bahasa latin.
- Terdapat
sedikit perbedaan dalam pemakaian etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Etika
digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang ada sedangkan moral/moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang diuji.
Daftar Pustaka
Bertens, K. 2009.
Perspektif Etika baru, 55 Essai tentang
Masalah Aktual. Kanisius. Yogyakarta.
Rachels, J. 2004.
Filsafat Moral. Kanisius. Yogyakarta.
Santosa,
H. 2007. Etika dan Teknologi. Tiara Wacana. Yogyakarta.